Senin, 18 Januari 2010

Strategi Keamanan Uni Soviet era Perang Dingin melalui SALT 1 (by: Supriyadi)

Pendahuluan
Perang dingin (Cold War) adalah istilah yang diciptakan oleh seorang ahli keuangan Amerika, Bernard Baruch, pada April 1947. Istilah ini diciptakan untuk menggambarkan suatu keadaan tentang hubungan antar negara yang upaya-upayanya untuk mengalahkan dan menjegal pihak lain yang termanifestasikan di dalam tekanan-tekanan ekonomi, propaganda, kegiatan-kegiatan rahasia dan subversive, aksi politik di pertemuan-pertemuan organisasi internasional, langkah-langkah yang senantiasa menghentikan segala macam pertempuran yang sebenarnya “perang panas” atau “perang tembakan”. Istilah tersebut digunakan secara longgar untuk melukiskan seluruh periode hubungan antara Uni Soviet dan kekuatan-kekuatan utama Barat, khususnya Amerika Serikat setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Perang dingin dapat berarti banyak hal bagi banyak orang. Perang Dingin (Cold War) adalah suatu pembagian dunia menjadi dua pihak yang saling bermusuhan.at juga sebagai polarisasi dari Eropa secara umum, dan Jerman secara khususnya menjadi wilayah persebaran kepentingan yang saling berlawanan. Perang dingin dapat diartikan sebagai kontes ideology, beberapa orang menyebutnya antara Kapitalis dan Komunis dan yang lain mengatakannya antara paham Demokrasi dan Otoriter. Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat lainnya yang sangat beranekan ragam dalam pemaknaan Perang Dingin itu sendiri.
Perang Dingin didominasi oleh apa yang kita saat ini kenal dengan nama “Super Power” yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet yang sebelumnya keluar sebagai pemenang dari Perang Dunia II. Dengan berbagai cara mereka mencoba untuk mendominasi dan menyebarkan paham/ideology yang mereka miliki ke berbagai belahan dunia. dengan berbagai cara mereka membagi Eropa bagi mereka sendiri, dan persaingan di antara keduanya secara bertahap menyebar di hampir setiap sudut dunia ini.
Dengan berkahirnya Perang Dunia II dan dengan kemenangan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai negara super power baru menjadi awal dari perubahan konstalasi perpolitikan internasional. Munculnya 2 kekuatan baru ini yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet yang berarti memulai persaingan ideology antara kedua negara yakni Demokrasi Liberal dengan Sosialis Komunis yang juga disertai dengan perkembangan teknologi persenjataan nuklir.
Semakin memanasnya persaingan antara kedua kubu membuat kedua negara mulai meningkatkan kekuatan nasionalnya masing-masing. Mulai dari membentuk aliansi-aliansi baru bersama sekutu-sekutunya sampai mengembangkan teknlogi senjata nuklir. Setiap negara merasa menghadapi ancaman yang serius dari lawannya karena memang masing-masing negara semakin mengkatkan kekuatannya terutama kekuatan militernya yang mana hal ini dilihat sebagai ancaman terhadap keamanan nasional dari negara lawannya.
Hal yang sama juga dilihat oleh Uni Soviet selama terjadinya Perang Dingin. Pengembangan kekuatan yang dilakukan oleh Amerika Serikat terutama dalam pengembangan senjata nuklir dan rudal-rudal jarak menengah (SLBM) hingga rudal-rudal antara benua (ICBM) membuat ancaman yang dirasakan oleh Uni Soviet semakin jelas. Pengembangan kekuatan nasional dalam rangka terciptanya balance of power merupakan salah satu hal yang mau tidak mau harus di lakukan oleh Uni Soviet apalagi dalam persaingan dalam mencapai kepentingan nasional yang dalam hal ini adalah penyebaran ideology masing-masing.
Apalagi dari sejak dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1949 Amerika Serikat dapat dikatakan memonopoli penguasaan senjata nuklir. Amerika Serikat memulai pengembangan ICBM (Inter Continental Ballistic Missile) yang mana pengembangan persenjataan itu merupakan persenjataan utama dalam rangka mendukung strategi keamanan Amerika Serikat apalagi ditambah dengan pengembangan kemampuan pesawat-pesawat pem bom yang membawa bom-bom nuklir untuk dijatuhkan ke wilayah sasaran tertentu.
Ancaman kekuatan persenjataan nuklir dan rudal-rudal Amerika Serikat merupakan sesuatu hal yang sangat nyata bagi Uni Soviet. Konsep pengembangan senjata nuklir yang digunakan oleh Uni Soviet juga dipengaruhi budaya strategis Soviet. Secara historis, Uni Soviet adalah bangsa yang selalu terancam sehingga strategi yang selalu ingin ditempuh adalah bagaimana mengamankan wilayah sekitar perbatasan dengan membentuk daerah penyangga.


Kerangka teori
Dalam upaya mengantisipasi adanyan ancaman, suatu negara mengadopsi kebijakan deterrence, maka memperlihatkan kondisi dimana suatu kepentingan untuk mengambil langkah-langkah penggunaan ancaman militer dalam usahanya mencegah actor lain mengadakan tindakan agresif terlebih dahulu. Konsep strategi yang paling popular dari kebijakan penggunaan nuklir sebagai sebuah instrument politik maupun militer adalah dalam penggunaannya sebagai sebuah alat untuk menciptakan kondisi deterrence. Secara umum, deterrence dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan suatu negara untuk mencegah negara lain menjalankan kebijakan yang tidak dikehendaki.
Deterrence mencangkup strategi ancaman hukuman atau penolakan untuk mempercayai pihak lain karena resiko tindakan antisipasi akan tidak terkirakan. Sarana yang digunakan untuk menjalankan kebijakan deterrence termasuk peningkatan kapabilitas militer secara umum, mengembangkan persenjataan super dengan daya hancur missal, membentuk aliansi dan ancaman melakukan tindakan balasan. Agar menjadi efektif ancaman deterrence harus benar-benar dapat dipercaya oleh pihak lain yang dijadikan sasaran. Konsep mengenai deterrence ini sebenarnya telah ada sebelum kemunculan senjata nuklir namun keberadaan senjata nuklir menjadi salah satu dasar pemikiran yang membuat Uni Soviet menerapkan konsep ini.
Pola deterrence dilakukan oleh suatu negara dalam upayanya untuk menghindari segala bentuk kemungkinan ancaman yang dapat mengancam keamanan suatu negara. Reaksi USSR mengadopsi kebijakan deterrence karena pengembangan senjata nuklir yang semakin gencar dilakukan oleh Amerika pada era Perang Dingin yang membuat Uni Soviet menerapkan konsep deterrence ini.
Selain itu, dengan semakin gencarnya masing-masing negara mengembangkan senjata nuklir dan berbagai jenis senjata lainnya yang mana merupakan ancaman yang sangat serius, masing-masing negara mengadopsi konsep Arms Control. Arms Control dapat diartikan sebagai upaya dari negara dalam mengendalikan penggunaan dan produksi maupun pengadaan persenjataan. Hal ini dilakukan oleh negara agar terjadinya stabilitas politik dan militer dalam sistem internasional yang anarki yang mana situasi ini sangat mengkhawatirkan banyak pihak dalam sistem internasional ini.
Pengurangan dan pengendalian persenjataan ini sebenarnya mempunyai beberapa tujuannamun yang paling penting adalah bahwa penerapan konsep Arms Control ini merupakan langkah sebuah negara yang lebih bersifat diplomatis yang mana lebih mengarah kepada konsep perdamaian. Tak hanya itu, penerapan konsep Arms Control ini juga lebih diarahkan agar tercapainya konsep penagkalan tadi karena penagkalan tidak cukup hanya meyakinkan lawan akan kemampuan serangan balasan namun harus didukung upaya untuk menciptakan dialog yang terus menerus agar perkembangan persenjataan lawan juga dapat dipantau secara terus menerus .
Selain itu, faktor penting dari Arms Control merupakan sebuah faktor yang sangat politik. awalnya, konsep dan kebijakan pengawasan senjata didasarkan pada beberapa asumsi yang terbukti tidak benar dalam jangka panjang, tapi pada saat yang sama tampaknya cukup masuk akal. pertama-tama, perbedaan politik diantara pihak-pihak yang tidak seharusnya menjadi masalah dalam pengawasan senjata.
Pembahasan
Dalam rangka mengantisipasi ancaman yang sangat nyata dari pengembangan senajata nuklir yang dilakukan oleh Amerika Serikat, Uni Soviet juga melakukan penerapan beberapa konsep strategi. Kesempatan untuk menguasai Eropa Timur setelah Perang Dunia II merupakan strategi yang harus diterapkan untuk melindungi wilayah Uni Soviet dari saingan utamanya.
Namun salah satu upaya nyata yang dilakukan oleh Uni Soviet dalam rangka menghadapi ancaman yang nyata adalah dengan ikut mengembangkan persenjataan senjata nuklir. Terhitung dalam kurun waktu 10 tahun dari tahun 1960 sampai tahun 1970, Unio Soviet mampu mengembangkan ICBM hingga 1510 buah yang semula hanya mempunyai 4 buah.
Namun semakin luas nya pengembangan persenjataan nuklir antara kedua negara justru juga turut membuat ancaman ke kedua negara negara semakin besar. Hal ini pulalah yang dilihat oleh Uni Soviet. Untuk itu dalam rangka mengatasi hal ini, Uni Soviet juga menerapkan konsep Arms Control yakni pengendalian terhadap produksi dan pengadaan serta pengembangan persenjataan nuklir. Realisasi dari konsep pemabatasan persenjataan nuklir yang pertama kali adalah yang disebut dengan SALT (Strategic Arms Limitation Talk) yang pembiacaraannya dimulai pada November 1969.
Upaya awal untuk menghentikan pengembangan persenjataan strategis tidak berhasil. Kompetisi dalam persenjataan ofensif dan defensif dilanjutkan. Pada 1966 Uni Soviet telah mulai mengerahkan sebuah rudal pertahanan antiballistic disekitar Moskow; dan tahun itu Republik Rakyat Cina berhasil menguji rudal nuklir. Di Amerika Serikat, penelitian dan pengembangan memimpin US penyebaran sistem ABM-nya sendiri. Pada bulan Maret 1967, setelah pertukaran komunikasi dengan para pemimpin Uni Soviet, Presiden Johnson mengumumkan bahwa Premier Kosygin telah menunjukkan kesediaan untuk memulai diskusi. Upaya untuk mendapatkan pembicaraan berlangsung, bagaimanapun, tidak berhasil.
Pada tanggal 20 Januari 1969, Kementerian Luar Negeri Soviet menyatakan kesediaannya untuk mendiskusikan senjata strategis keterbatasan. Pada bulan Oktober,Amerika Serikat mengumumkan bahwa
SALT I, seri pertama dari Strategic Arms Limitation Talks, dimulai November 1969 sampai Mei 1972. Selama periode itu Amerika Serikat dan Uni Soviet bernegosiasi mengenai perjanjian pertama untuk menempatkan batas dan hambatan pada beberapa pusat persenjataan mereka yang paling penting.
Perundingan antara Nixon dan Brezhnev tersebut menhasilkan dua kesepakatan pada tahun 1972 berupa Treaty of Limitation of Anti-Ballistic Missile (ABM) dan Interim Agreement on The Limitation of Strategic Offensive Arms. Dalam perjanjian ABM kedua belah pihak sepakat untuk membatasi pengembangan Sistem penangkal peluru kendali sampai 100 buah tanpa ditentukan batas waktunya. Sistem ABM tersebut dapat dipasang baik untuk melindungi kapabilitas Peluru Kendali Landas Darat (ICBM) maupun kota-kota utama di wilayah Uni Soviet maupun Amerika Serikat. Perjanjian tersebut kemudian dikembangkan kembali pada tahun 1974 dengan kesepakatan menempatkan satu ABM pada setiap tempat yang akan dilindungi apakah itu kota ataupun kapabilitas ICBM serta membatasi pengembangan teknologi ABM terutama penggandaan peluncur senjata ABM baik yang dilakukan odi laut, udara maupun darat.
Dalam Interim Agreement on The Limitation of Strategic Offensive Arms, kedua negara mengambil langkah-langkah pertama untuk memeriksa persaingan mereka terkait dengan pengadaan kapal selam bersenjata nuklir. Perjanjian ini merujuk pada pembatasan pengembangan peluru kendali strategis dalam jangka waktu lima tahun. Kesepakatan yang dicapai adalah Amerika setuju untuk membatasi pengembangan ICBM dan 656 SLBM yang ditempatkan dalam 44 kapal selam. Sedangkan Uni Soviet setuju untuk membatasi kepemilikan ICBM pada jumlah 1618 dan 740 SLBM. Penambahan hanya dapat dilakukan bila bersifat menggantikan satu dengan yang lainnya.
Namun menurut saya tercapainya kesepakatan dalam SALT 1 ini merupakan langkah awal yang bagus unutk dilakukan oleh Uni Soviet. Meskipun nantinya SALT 1 ini mempunyai banyak kelemahan, seperti belum dibahasnya juga mengenai pengadaan senjata nuklir jarak menengah seperti juga pesawat-pesawat pembom yang membawa nuklir-nuklir landas udara. Hal ini pulalah yang dikhawatirkan membawea dampak terhadap pengembangan persenjataan nuklir yang tidak dibatasi dalam SALT 1 tersebut. seperti contohnya yang dilakukan Amerika Serikat dengan mengembangkan MIRv’s (Multiple Independently Re-entry Vehicle) yaitu rudal nuklir landas darat (ICBM) yang dilengkapi sepuluh kepala nuklir pada setiap rudalnya. Sehingga walaupun ICBM nya dibatasi namun apabila satu rudal dapat dikembangkan jumlah kepala nuklirnya maka pembatasan tersebut dapat dibilang sia-sia.
Ya memang benar, dalam perjanjian SALT 1 tidak terdapat pembahasan tentang pembatasan jumlah kepala rudal berbahan nuklir. SALT 1 merupakan persetujuan untuk membatasi peluncur rudal. ada satu masalah lain bahwa Amerika Serikat mencoba untuk mengantisipasi SALT 1, tetapi Soviet tidak mengizinkan. Hal ini adalah jelas dari awal bahwa membatasi jumlah rudal tidak berarti apa-apa karena rudal datang dalam segala macam ukuran dan kemampuan. Sebuah rudal jauh lebih mampu dari rudal lainnya. Maksudnya adalah sebuah rudal yang mempunyai 3 kepala nuklir lebih berarti dari pada 3 rudal dengan satu kepala nuklir.
Dalam hal ini strategi yang diterapka oleh Uni Soviet dapat dibilang sedikit kurang efektif dengan alasan seperti yang dikemukakan di atas. Masing-masing negara tidak dapat mengupayakan kesepakatan yang memang benar-benar dirasa aman untuk keduanya. Sama seperti yang dilihat oleh Uni Soviet. Amerika tetap melakukan pengembangan rudal seprti MIRv’s yang dilengkapi 10 hulu ledak nuklir di kepala rudalnya.
Hal ini menunjukkan bahwa memang SALT 1 kurang efektif dalam upaya mengendalikan persenjataan masing-masing negara.








Kesimpulan
Semakin meningkatnya ancaman yang dirasakan oleh Uni Soviet selama Cold War yakni yang berasal dari pesaing utamanya yakni Amerika Serikat tak elak membuat Soviet ikut mengembangkan persenjataan nuklir. Peningkatan kekuatan militer dalam upaya penciptaan Balance of Power semakin gencar dilakukan oleh kedua negara. Hal ini mengakibatkan persaingan perlombaan pengembangan senjata nuklir semakin memanas. Dengan memanasnya persaingan perlombaan senjata nuklir antara kedua negara justru menimbulkan instabilitas dalam dunia internasional.
Hal ini pulalah yang di rasakan oleh Uni Soviet. Semakin gencarnya peningkatan kekuatan Amerika Serikat justru menjadi ancaman yang sangat serius. Untuk mengantisipasi ancaman itu, Uni Soviet menerapkan konsep Deterrence. Konsep penagkalan untuk mengantisipasi kemampuan Amerika Serikat dalam menggunakan senjata nuklirnya dan mencegah Amerika Serikat untuk melakukan tindakan yang mengancam kemanan nasional Uni Soviet.
Selain itu penerapkan konsep Arms Control juga dilakukan oleh Soviet pada masa itu. hal ini ditujukan untuk melakukan pengendalian terhadap penyediaanya dan kontrol terhadap persenjataan nuklir dengan jalur diplomasi dengan Amerika Serikat. Langkah awalnya adalah dengan adanya kesepakatan SALT 1 yang berisikan kesepakatan untuk mengurangi jumlah peluncur rudal landas darat dan rudal lainnya.
Namun pembicaraan SALT 1 ini dirasakan kurang efektif dikarenakan dalam kesepakatan ini kedua belah pihak hanya membahas tentang pembatasan jumlah rudal nya tapi tidak membahas tentang pembatasan jumlah hulu ledak nuklir pada setiap rudal.
Daftar Pustaka
1. Michael Riff, Kamus Ideologi Politik Modern, 1995, hal.243.
2. John Lewis Gaddis dalam Geir Lundestead et. Al., Beyond The Cold War: New Dimension and International Relations, 1993, hal. 6.
3. William R. Van Cleave, “Arms Control: Violations and Response”, hal 259-289
4. http://www.state.gov/www/global/arms/treaties/salt1.html
5. Modul VII kuliah pengkajian strategi
6. Jan M. Ledal, “Deterrence and Nuclear Strategy”, Daedalus, Vol 109, No.4, US Defense Policy in 1980s, hal 115-175
7. Foreign Affaris, Admiral M. John Lee,”An Opening “window” for Arms Control”.
8. Foreign Affairs, Herbert Scoville, “ Beyond SALT 1”.